Oleh: Herikson Rosxli
Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) awalnya merupakan kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) yang kemudian berubah fungsi menjadi kawasan konservasi berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.255/Menhut-II/2004 dengan luas awal sekitar 38.576 hektare. Pada tahun 2009, pemerintah Indonesia memperluas kawasan tersebut melalui SK No. 663/Menhut-II/2009, sehingga total luas TNTN menjadi 81.793 hektare.
Namun ironi terjadi. Dari total luas kawasan, sekitar 40.000 hektare telah dirambah dan diubah menjadi kebun sawit ilegal oleh berbagai pihak yang tidak bertanggung jawab. Berdasarkan catatan Kementerian Kehutanan, terdapat lebih dari 15.000 jiwa yang bermukim di kawasan ini—sebagian besar merupakan pendatang dari luar Provinsi Riau. Tidak hanya rumah dan pondok, berbagai fasilitas umum seperti sekolah, rumah ibadah, hingga jaringan listrik telah dibangun dan menunjang kehidupan warga yang tinggal di sana.
Pada 18 Juni 2025 lalu, ribuan warga yang mengatasnamakan masyarakat dan mahasiswa Pelalawan menggelar aksi unjuk rasa di Kantor Gubernur Riau. Aksi ini dipicu oleh terbitnya instruksi relokasi mandiri dari Satuan Tugas Penanganan Kawasan Hutan (Satgas PKH) setelah dilakukan penyitaan terhadap lahan konservasi TNTN. Masyarakat diberi waktu tiga bulan, dari 22 Mei hingga 22 Agustus 2025, untuk meninggalkan kawasan. Mereka masih diperbolehkan memanen sawit hingga batas waktu tersebut, dengan ketentuan khusus: sawit berusia di bawah lima tahun akan dimusnahkan dan diganti dengan tanaman hutan dalam upaya pemulihan fungsi kawasan.
Pemerintah menilai langkah ini sebagai upaya strategis dalam mengembalikan fungsi TNTN sebagai kawasan konservasi. Namun di sisi lain, masyarakat yang telah lama bermukim merasa kebijakan ini tidak adil dan tidak melibatkan mereka dalam proses perumusan kebijakan. Ribuan massa menolak relokasi dan mendesak Gubernur Riau Abdul Wahid memfasilitasi mereka bertemu pemerintah pusat.
Perlu dicatat, sejumlah tokoh masyarakat dan organisasi mahasiswa menyatakan tidak terlibat dalam aksi tersebut. Namun demikian, peristiwa ini menarik perhatian nasional dan memperlihatkan kedalaman krisis sosial-ekologis yang telah lama dipendam.
Saya berpendapat, penolakan terhadap relokasi mencerminkan kompleksitas persoalan struktural yang sudah berlangsung bertahun-tahun. Di satu sisi, kita tentu mendukung upaya konservasi lingkungan. Namun di sisi lain, fakta bahwa ribuan warga telah tinggal dan bertahan hidup di sana tidak bisa diabaikan. Pelestarian lingkungan tidak seharusnya bertentangan dengan hak masyarakat untuk hidup layak. Relokasi, jika memang harus dilakukan, harus disertai jaminan yang jelas—tempat tinggal baru, sumber mata pencaharian, serta perlindungan hukum yang adil bagi warga terdampak.
Negara tidak boleh hanya hadir untuk menertibkan, tetapi juga wajib melindungi. Terlebih, kerusakan TNTN bukan terjadi dalam semalam. Jika masyarakat bisa membangun rumah, memiliki KTP, bahkan mengakses listrik dan pendidikan di wilayah ini, maka pertanyaannya: di mana negara selama ini?
Lebih jauh, muncul dugaan bahwa proses “normalisasi” kawasan ini juga menjadi refleksi dari dosa struktural para pejabat berwenang di masa lalu. Pejabat yang secara langsung atau tidak langsung membiarkan administrasi kependudukan, infrastruktur publik, dan transaksi lahan tumbuh subur di dalam kawasan yang katanya "dilarang".
Apakah ini hanya salah masyarakat? Atau justru akibat pembiaran sistemik dari mereka yang kini menertibkan?
Wallahu a’lam bisshawab. Tuhan Yang Maha Esa dan para pembaca yang budiman yang lebih tahu.
-------------
Penulis adalah Aktivis Komunitas Pecinta Alam Riau (KOPARI) dan Wakil Sekretaris Serikat Perusahaan Pers (SPS) Provinsi Riau.
#Kawasan TNTN #Teso Nilo